PATRIMONIALISME sebagaimana diketahui merupakan upaya membangun kultur demokrasi elektoral yang masih mengedepankan figur alih-alih diskursus program.Mestinya, praktiknya sudah harus mulai ditinggalkan oleh negara-negara yang memiliki keinginan untuk menaikkan kualitas demokrasi elektoralnya. Namun demikian, di Indonesia, patrimonialisme justru masih menjadi senjata utama bagi sebagian besar partai politik (parpol) untuk memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu).
Hal yang jadi terdengar ironis mengingat Indonesia adalah negara yang sejauh ini tergolong mampu menyelenggarakan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan secara mapan. Situasi tersebut lantas mengindikasikan bahwa meski telah mampu mempertahankan eksistensi demokrasinya selama puluhan tahun, namun demikian dinamika elektoral di Indonesia masih memproduksi persoalan.
Memang, di satu sisi, praktik patrimonialisme yang terjadi tidak melanggar kaidah hukum apapun. Namun demikian, di sisi lainnya, khususnya jika mengingat bahwa Indonesia sudah mampu membangun sistem demokrasinya sampai ke tahap mapan seperti yang bisa dirasakan saat ini, rasa-rasanya, value demokrasi di Indonesia masih bisa didorong untuk tampil ke tingkat yang lebih tinggi. Pengubahan secara sengaja kondisi terkini demokrasi Indonesia dari patrimonialistik menuju substantif jadi penting.
Menariknya, upaya pengubahan tersebut hampir selalu disambut oleh publik dengan antusias justru di sekitar waktu penyelenggaraan Pemilu. Boleh jadi, hal tersebut terselenggara karena Pemilu masih terasosiasi secara langsung dengan ide tentang perubahan (change). Namun demikian, mengingat persoalan yang terjadi sudah terlanjur mengakar sampai jauh ke dalam sistem, perubahan jadi hanya bisa diinisiasi oleh variabel-variabel yang bekerja di luar sistem. Parpol baru kemudian menjadi salah satu dari variabel yang dimaksud tersebut.
Kemungkinan besar, hal tersebut terjadi karena parpol baru diasumsikan masih bisa bekerja dengan mengedepankan ideologi. Dampaknya, parpol baru jadi mendapat kepercayaan untuk memperbarui dinamika elektoral yang sedang dan terus terjadi. Khususnya mengubah warna determinan demokrasi elektoral Indonesia, dari yang sebelumnya figure oriented menjadi program oriented.
Dilema parpol baru
Patrimonialisme, alias patron dan klien yang telah mampu menunjukkan kombinasinya sampai ke tahap sistem, sebetulnya berbahaya karena jelas-jelas mengerdilkan peran program (dan di saat bersamaan mendambakan figur secara berlebihan) dalam mendefinisikan kekuasaan. Padahal, parpol secara substantif adalah representasi dari seluruh lapisan masyarakat sehingga mestinya cara kerja programatiklah yang lebih dominan mewarnai dinamika elektoral suatu negara.
Memang, cara kerja programatik tersebut jadi akan terdengar baru jika dihadap-hadapkan pada budaya politik elektoral di Indonesia selama ini. Namun justru karena itulah parpol baru menjadi variabel yang paling mungkin untuk melakukan perubahan. Hanya saja, sayangnya, parpol baru di Indonesia tetap tidak akan bisa melakukannya dengan mudah.
Faktanya, mereka harus berhadapan dengan sistem patrimonialisme politik di Indonesia yang, bukan hanya telah dibentuk oleh lapis-lapis kenyataan historis di masa lampau, melainkan juga telah susah payah dipertahankan oleh hampir seluruh elite politik selama puluhan tahun. Pada gilirannya, sistem ini akan menghalangi segala ide yang ingin memperbarui dinamika elektoral di Indonesia.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, parpol baru dengan segmentasi milenial, pada akhirnya tetap harus menggunakan nama besar Joko Widodo sebagai bandul politik untuk meraih atensi pemilih. Atau partai Ummat yang juga masih tampak mengandalkan reputasi Amien Rais, bapak reformasi Indonesia, untuk mendulang suara.
Sama halnya dengan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) yang sepenuhnya terasosiasi dengan Anis Matta dan Fahri Hamzah, dua tokoh politik penting di Indonesia. Adapun jika dibedah, cara bergerak PSI, partai Ummat dan partai Gelora tersebut menunjukkan bahwa sebetulnya, dalam upaya untuk mencapai kekuasaan, parpol mengalami dilema hebat. Yaitu dilema antara bekerja secara ideologis dengan mengusung tema perubahan di satu sisi atau bergerak secara pragmatis guna mendapatkan kursi parlemen selekas-lekasnya di sisi yang lain.
Bekerja ideologis berarti ingin memperbaiki sistem. Sementara bergerak pragmatis berarti mengakui bahwa sistem yang eksis masih baik dan oleh karenanya layak untuk diikuti. Bekerja ideologis berarti memikirkan demokrasi elektoral Indonesia secara komprehensif. Sementara bergerak pragmatis merujuk pada upaya untuk memprioritaskan diri parpol sendiri.
Kondisi hari ini
Sayangnya, penyelesaian atas dilema tersebut, apakah ideologis atau pragmatis, masih dipengaruhi oleh kultur politik parpol-parpol di dalam parlemen. Padahal, kultur politik elektoral parlemen masih berorientasi pada patrimonialisme sebagaimana disinggung pada bagian awal tulisan ini.
Tak cukup sampai di situ, penghapusan patrimonialisme bahkan menjadi semakin jauh panggang dari api karena semakin kemari, para patron dari parpol parlemen tersebut justru dipromosikan secara demikian kuat sebagai bakal calon presiden untuk pemilu mendatang. Buktinya, jika popularitas dari nama-nama tokoh yang menjadi bandul politik masing-masing parpol di dalam parlemen harus dibedah, parpol-parpol parlemen di Indonesia setidaknya sampai bisa dijelaskan ke dalam dua kategori.
Kategori pertama adalah parpol yang tetap mempercayakan bandul politiknya pada nama-nama tokoh yang elektabilitasnya untuk menjadi bakal capres belum terlalu moncer. Misalnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang berharap pada Zulkifli Hasan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Muhaimin Iskandar, Partai Demokrat pada Agus Harimurti Yudhoyono, Partai Golongan Karya (Golkar) pada Airlangga Hartarto hingga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang belakangan banyak disebut condong kepada Sandiaga Uno.
Faktanya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga masuk ke dalam kategori ini karena masih bergantung pada Puan Maharani. Adapun selain kategori pertama, terdapat pula kategori kedua. Yaitu kategori parpol yang bergantung pada nama-nama tokoh yang elektabilitasnya untuk menjadi bakal capres sedang tinggi-tingginya.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) tergolong ke dalam kategori ini karena telah tergantung kepada Prabowo Subianto dengan demikian kuatnya. Tetapi menariknya, di dalam kategori ini terdapat pula Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Keadilan Sosial (PKS) yang sampai pertengahan tahun 2022, memilih untuk tidak mendorong kadernya sendiri untuk maju menjadi bakal capres karena masih condong kepada Anies Baswedan. Tetapi tetap saja, situasi tersebut menunjukkan bahwa Nasdem dan PKS masih tergantung pada figur.
Rasanya, dua kategori tersebut telah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa di Indonesia, nilai-nilai patrimonialisme masih mengakar dengan demikian kuat di dalam jiwa masing-masing parpol. Adapun fakta bahwa parpol lebih cepat diingat karena nama para bandul politiknya, bukan program, adalah buktinya. Dampaknya, potensi perubahan menjadi layu sebelum berkembang.
Sungguh, misi untuk mengubah jiwa elektoral demokrasi Indonesia, dari orientasi figur ke program, masih tergolong sebagai beban berat bagi parpol baru. Apalagi karena para parpol baru tersebut masih harus membereskan dilemanya terlebih dulu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Dilema Parpol Baru di Indonesia“.
Editor : Sandro Gatra
Tinggalkan Balasan