Jakarta –
Situasi politik nasional, sebagaimana diketahui, sedang riuh oleh satu per satu kemunculan relawan pendukung figur-figur tertentu untuk menjadi calon presiden (capres) pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Pada 20 Oktober 2021 misalnya, Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) resmi mendeklarasikan diri sebagai kelompok relawan pendukung Anies Baswedan. Diselenggarakan di Jakarta, daerah yang sedang dipimpin Anies, deklarasi tersebut sekaligus berupaya untuk menunjukkan bahwa Anies Baswedan juga didukung oleh kalangan muda.
Publik jelas masih mengingat bahwa sekitar 3 sampai dengan 4 bulan sebelumnya, telah didirikan pula Ganjar menuju Indonesia Satu (Ganjarist), kelompok relawan sejenis yang merujuk pada pendukung Ganjar Pranowo. Menariknya, dalam konteks Ganjar Pranowo, Ganjarist bukan menjadi satu-satunya simpul karena masih terdapat kelompok relawan lain yang juga mendukung Ganjar Pranowo seperti Sahabat Ganjar dan Jokowi Mania (Joman).
Di luar kedua kelompok tersebut, tentu masih ada lainnya. Namun demikian, kelompok-kelompok dengan tipikal voluntarism, baik seperti yang telah disebutkan di atas maupun yang belum disebutkan, sebenarnya memiliki benang merah yang identik. Yaitu sama-sama melakukan penawaran politik kepada publik agar berkenan memilih para kandidat yang mereka dukung tersebut sebagai Presiden Republik Indonesia selanjutnya.
Presiden merupakan jabatan politik tertinggi yang bisa diraih di negeri ini. Kemunculan relawan pendukung kandidat untuk mengisi jabatan Presiden tersebut jadi tergolong sebagai peristiwa politik yang tidak sederhana. Tetapi tidak cukup sampai di situ, sorotan juga muncul karena kelompok-kelompok relawan tersebut dianggap mampu menyelenggarakan fungsi-fungsi representasi secara militan. Buktinya, para kelompok relawan tersebut mampu menginisiasi perkumpulan, diskusi hingga mobilisasi dukungan meski hanya disatukan oleh kesamaan peminatan kandidat. Mereka tidak dibayar dan tidak pula memperoleh jabatan politik secara otomatis karena dalam tataran ideal, kelompok-kelompok relawan tersebut tidak langsung berafiliasi dengan partai politik (parpol).
Adapun dari sisi masyarakat, adaptasi atas situasi yang terjadi jadi penting untuk dilakukan. Apalagi karena keriuhan peristiwa dukung mendukung figur tertentu untuk menjadi Presiden tersebut lantas menghasilkan dampak ekspres bagi situasi politik nasional yang pada akhirnya akan mempengaruhi penyelenggaraan hajat hidup masyarakat juga. Tulisan ini lantas berupaya untuk melakukan telaah kritis atas dampak ekspres bagi situasi politik Indonesia yang terjadi tersebut.
Dampak Ekspres
Faktanya, kemunculan kelompok pendukung figur tertentu untuk menjadi capres sebagaimana disampaikan di atas lantas memberi dampak ekspres bagi stakeholder yang terlibat. Masyarakat dengan persoalan hidup yang tak kunjung tuntas misalnya, tiba-tiba jadi punya harapan untuk hidup secara lebih baik melalui sesosok figur yang dimunculkan oleh kelompok relawan. Atau elite politik, yang tiba-tiba jadi punya peluang untuk mengikuti kontestasi politik yang sedang dibicarakan. Atau mungkin juga negara, yang tiba-tiba bisa bernafas lega karena diskursus publik soal kekurangan pemerintah jadi bergeser ke profiling kandidat.
Pendek kata, kemunculan relawan pendukung figur tertentu untuk menjadi capres tersebut benar-benar memberi dampak ekspres bagi stakeholder. Tetapi, tentu dampak yang terjadi secara tiba-tiba tersebut perlu ditindaklanjuti secara matang, baik oleh masyarakat, elite maupun negara agar bisa memberi manfaat. Selain itu, tindak lanjut juga perlu dilakukan karena kemunculan relawan pendukung figur tertentu untuk menjadi capres tersebut berpotensi mengubah struktur relasi kuasa-menguasai negara-masyarakat di masa mendatang.
Meski demikian, dampak ekspres tidak cukup dipahami hanya sebagai dampak yang terjadi secara tiba-tiba. Sebaliknya, dampak ekspres juga perlu dimengerti dari berbagai dampak turunannya yang lantas terkristal secara kategorisasional ke dalam 2 (dua) dampak besar, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Adapun elaborasi dari dampak positif dan negatif tersebut adalah sebagai berikut.
Dampak Positif
Harus diakui, keriuhan dukung mendukung kandidat sebagaimana disampaikan di atas lantas memproduksi dampak positif. Dua dari sekian banyak dampak positif tersebut yaitu menunjukkan tingginya partisipasi politik masyarakat dan memberi cukup waktu bagi kandidat untuk mempersiapkan diri.
Pertama, bahwa kemunculan relawan pendukung capres jauh sebelum penyelenggaraan Pilpres sebagaimana tersebut di atas justru menunjukkan partisipasi politik masyarakat yang tinggi. Adapun meski baru diwujudkan dalam bentuk deklarasi, namun demikian jika dibedah, pendalaman visi misi kandidat, mobilisasi gerakan untuk memperkenalkan kandidat hingga counter atas isu-isu negatif yang menghampiri kandidat akan secara otomatis ikut dilakukan. Pendalaman kandidat, mobilisasi gerakan dan counter atas isu negatif tersebutlah yang lantas menjadi bukti bahwa partisipasi politik masyarakat benar-benar terjadi.
Pada saat yang sama, kemunculan relawan pendukung tersebut juga sekaligus memberi tekanan kepada pemerintah. Adapun tekanan tersebut muncul sebagai akibat dari telah terjadinya upaya untuk mendiskusikan kandidat baru ketika kandidat lama yang sudah terpilih (pemerintah) masih bekerja. Sebagaimana diketahui, upaya tersebut merupakan metode halus untuk mengatakan bahwa pemerintah perlu diganti karena tidak bekerja dengan baik. Partisipasi politik, dengan demikian, semakin terbukti terjadi di tingkat yang tinggi karena juga mampu mempengaruhi kinerja pemerintah.
Kedua, kandidat jadi bisa mempersiapkan diri secara lebih baik mengingat respons publik terhadap kemunculan kandidat baru akan selalu linear dengan evaluasi atas kinerja kandidat sebelumnya. Dengan kata lain, dari sudut pandang kandidat, kemunculan relawan pendukung justru bisa dibaca sebagai titik mula dari diselenggarakannya seluruh persiapan untuk menghadapi Pilpres.
Lagipula, tidak ada salahnya apabila kandidat yang telah dibicarakan publik sejak 2021 mulai memikirkan program-program yang penting untuk dikampanyekan pada pilpres 2024. Kalaupun pada akhirnya tidak terpilih, program-program tersebut tetap bisa dititipkan kepada kandidat lain yang memperoleh rekomendasi untuk mengikuti Pilpres. Kemunculan relawan pendukung, dengan demikian, menegaskan periode persiapan yang bisa dimulai sedini mungkin.
Pendek kata, kemunculan relawan pendukung capres bisa menghasilkan dampak positif. Minimal 2 (dua) poin sebagaimana disampaikan di atas. Meski mungkin terdengar utopis pada beberapa bagian, namun demikian dampak positif-dampak positif di atas benar-benar bisa muncul dari keriuhan dukung mendukung kandidat yang sedang terjadi.
Dampak Negatif
Tetapi di balik dampak positif, harus diakui pula bahwa situasi tersebut juga bisa menghasilkan dampak negatif, yang tampak dari aspek-aspek seperti elitisme politik, figurisme politik, dan glorifikasi pemilu.
Pertama, bahwa kemunculan relawan semakin menegaskan bahwa politik kita masih elitis karena kandidat yang ditawarkan kepada publik masih bersifat power from above. Padahal, mestinya, politik dibicarakan secara integral dengan melibatkan elite dan non-elite sekaligus. Oleh karenanya, berhubung nama-nama yang muncul bukan benar-benar berasal dari masyarakat, melainkan dari penyelenggara kekuasaan, premis bahwa politik Indonesia masih elitis jadi terkonfirmasi.
Sehingga jikapun terdapat bahaya yang perlu diantisipasi dari situasi tersebut, jauhnya jarak antara negara dan masyarakatlah jawabannya. Sebagaimana diketahui, jarak antara negara dan masyarakat yang demikian jauh akan memproduksi pola representasi yang kabur. Dampaknya, politik Indonesia hanya akan berputar-putar di tingkat elite.
Kedua, kemunculan relawan juga semakin menegaskan bahwa politik di Indonesia masih berbasis figur, bukan program. Padahal, kompleksitas persoalan masyarakat hanya bisa diselesaikan oleh program, bukan figur. Figur sendiri, harus diakui, tetap menjadi aspek penting bagi penyelenggaraan pemilu di negara yang sedang belajar demokrasi seperti Indonesia. Hanya saja masalahnya, derajat kemurnian legitimasi pemerintah hanya akan meningkat apabila basis pemerintahan diletakkan pada aspek-aspek programatik.
Ketiga, seolah-olah, kemunculan relawan semakin menegaskan bahwa pemilu adalah satu-satunya isu politik penting. Padahal, kesejahteraan masyarakat justru tergantung dari situasi politik pasca-pemilu. Dengan demikian, idealnya, pemilu tidak dianggap sebagai satu-satunya isu krusial untuk mewakili politik.
Pemilu sebagai salah satu manifestasi dari proses politik kelembagaan justru harus dilihat sebagai bagian kecil saja dari narasi besar politik Indonesia. Pemilu hanya mewakili upaya to elect, yang pada waktunya akan diteruskan oleh proses to govern. Glorifikasi atas pemilu yang ditunjukkan dengan kemunculan relawan capres jauh sebelum Pilpres diselenggarakan, tentu sah-sah saja sejauh tidak menjadi isu politik dominan.
Pada akhirnya, dampak negatif-dampak negatif yang muncul dari keriuhan dukung mendukung capres sebagaimana disampaikan di atas tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sederhana. Sebaliknya, dampak-dampak negatif tersebut justru membutuhkan penanganan serius.
Harapan Masyarakat
Oleh karenanya, muncul pertanyaan, lalu apa yang bisa diharapkan masyarakat dari riuhnya kemunculan kelompok relawan pendukung capres tersebut? Pertama, situasi tersebut mestinya sekaligus menjadi momentum bagi terjadinya transisi pemilu berbasis figur ke pemilu berbasis program. Kedua, situasi tersebut juga mestinya sekaligus menjadi momentum bagi terjadinya proses transisi dari pemilu berbasis elite ke pemilu berbasis masyarakat.
Program mestinya jadi pokok bahasan yang lebih dominan daripada figur. Oleh karenanya, linear dengan premis tersebut, figur jadi tidak terlalu penting untuk dibicarakan jika tidak langsung dikaitkan dengan program. Masyarakat harus semakin dicerdaskan dengan isu-isu kewarganegaraan, ketahanan pangan, pertahanan sipil dan sejenisnya dibanding dengan informasi mengenai personalitas figur.
Adapun pemilu berbasis masyarakat-sentrik juga menjadi harapan masyarakat yang mengemuka dari keriuhan dukung mendukung figur oleh kelompok relawan capres. Mumpung relawan tersebut muncul dari bawah, alias belum menjadi rekomendasi parpol, masyarakat jadi bisa terlibat lebih banyak dalam menyuarakan aspirasi. Titik tekannya, sekali lagi, terletak pada kekuasaan yang lantas dimiliki oleh masyarakat, bukan negara.
Sehingga pada akhirnya, apabila relasi kuasa-menguasai yang khas tersebut bisa dijaga bahkan sampai ke situasi pasca-Pilpres, bukan tidak mungkin hubungan negara-masyarakat pasca-pemilu juga bisa jadi semakin modern. Kemunculan kelompok relawan pendukung capres, dengan demikian, juga harus dikaitkan dengan harapan masyarakat sebagaimana disampaikan tersebut.
Aprilianto Satria Pratama peneliti Swasaba Research Initiative (SRI)
Tulisan ini telah dipublikasikan di detik.com sebagaimana aslinya.
Tinggalkan Balasan